Fluida dan Gempa
Mindanao porak poranda pada Selasa (29/10/2019), kabar dari teman yang memantau gempa. Selama ini, gempa selalu membawa kejutan penderitaan. Masih banyak misteri menyelimuti proses terjadinya gempa bumi. Gempa adalah skala bencana besar karena melibatkan massa lempeng bumi yang besar. Hal yang bisa kita duga adalah faktor-faktor penggerak lempeng dan pemicunya merupakan sebuah rantai mekanisme yang amat kompleks. Christoph Sens-Schonfelder, peneliti dari GFZ German Research Centre for Geosciences di Postdam, Jerman bersama Tom Eulenfeld dari Universitas of Jena, di Jena, Jerman mendapat kesimpulan gelombang : gelombang seismik atau gelombang gempa-pembawa energi penyebab gempa-yang ditimbulkan buih gelombang (surf) dan efek pasang surut bumi terhadap lapisan tipis bumi dapat menjadi pintu masuk untuk memahami kondisi bumi secara lebih baik.
Tekanan dan
regangan yang berlangsung fluktuatif akibat gelombang seismik amat penting
untuk mengondisikan keamanan bangunan, pertambangan, serta memantau aktivitas
sesar dan gunung api. Perubahan kecepatan yang teridentifikasi akan sangat
berguna untuk memperkirakan gempa dan aktivitas vulkano di masa depan.
Kelemahan dar riset tentang gempa dan gunug api adalah penelitian dilakukan di
atas permukaan bumi. Padahal, pemicu pertama dari gempa dan letusan gunung api
berada di dalam lapisan bumi, di bawah tanah yang berlapis dengan bentuk-bentuk
yang tidak beraturan dan kandungan mineral yang beragam.
Pertengahan
tahun ini, penelitian oleh tim peneliti Columbia University di New York,
Amerika Serikat, seperti dilaporkan Nature
Communications, menyebutkan pasang surut menyebabkan terjadinya gempa bumi.
Dari penelitian didapati bahwa gempa bumi di sepanjang punggungan tengah laut (mid-ocean ridges) berkaitan dengan
kondisi laut surut. Mid-ocean ridges merupakan
ragkaian gunung di bawah permukaan laut-berada di sepanjang pinggiran lempeng
bumi. Temuan tersebut mengejutkan karena semula gempa bumi diduga berkaitan
dengan saat laut pasang. Dugaan semula, ketika air pasang, lempeng yang diatas
turun karena beban air diatasnya, sehingga berada di bawah lempeng yang di
bawahnya, dan terjadilah gempa. Namun, temuan mereka telah mengoreksi dugaan
tersebut.
Ternyata ketika
air surut, lempeng yang diatas tergelincir ke bawah karena desakan tenaga dari
bawah pembawa lempeng bawah bergerak naik (secara cepat). Proses pergerakan
turun dan naik lempeng tersebut mengakibatkan gempa bumi. “Itu berlawanan
dengan dugaan kita,” kata Christopher Scholz. Mengapa demikian? Kantung magma
berisi magma yang berbentuk dan bersifat sebagai fluida, maka kantung magma
mudah mengembang dan mengempis. Ketika surut, beban sedikit, kantung magma
mengembang ke atas dan mendorong lempeng bagian bawah ke atas. Maka, terjadi
pergeseran lempeng. Terjadilah gempa.
Dengan
mencermati temuan itu, kita semakin diyakinkan bahwa alam dan kehidupan adalah
jejaring yang bertali temali secara kompleks, dalam proses “ada”-nya,
keberadaannya, perilakunya, serta kaitan sebab-akibatnya.... Dan entah apa yang
menunggu ilmu pengetahuan di depan sana...? (Brigitta Isworo Laksmi)
Sumber : Kompas, 30
Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar