Guru Tiga Generasi
“ Kemampuan terbesar kita sebagai manusia bukanlah
untuk mengubah dunia; tetapi untuk mengubah diri kita
sendiri.” (Mahatma Gandhi)
Ahli sejarah AS Neil Howe dan William Strauss sebagai pencetus teori generasi,
kemudian Graeme Codrington dari Afrika Selatan mengaplikasikan pendapat
Howe dan Strauss dalam penelitiannya, dalam tesis Codrington membagi generasi
menjadi lima yaitu:
1. Generasi Baby Boomer (lahir 1946-1964)
2. Generasi X (lahir 1965-1980)
3. Generasi Y (lahir 1981-1994)
4. Generasi Z (lahir 1995-2010)
5. Generasi Alpha (lahir 2011-2025)
Guru yang masih aktif sekarang di negeri kita tercinta ini adalah ; generasi baby
boomer, generasi X dan Y, dan kemungkinan sedikit guru generasi Z telah hadir dalam
dunia pendidikan kita. Pada tahun 2024 guru generasi baby boomer semuanya akan
memasuki masa purna bakti dan guru generasi X akan memasuki masa purna bakti
tahun 2025 – 2040, pada generasi inilah guru yang paling banyak di negara kita
Indonesia, guru generasi Y tidak sebanyak guru generasi X tetapi masa kerjanya masih
lebih lama.
Seiring dengan perkembangan teknologi digital, semua kalangan guru dituntut untuk
berubah sesuai dengan tuntutan peserta didik yang dihadapi yaitu generasi Z dan
generasi Alpha yang melek teknologi digital.
Guru Generasi Baby Boomer dan Guru Generasi X
Kedua generasi ini memiliki banyak persamaan, karena generasi X dilahirkan generasi
baby boomer. Generasi baby boomer merupakan pekerja keras, disiplin tetapi anti
kritik. Dengan melihat karakter generasi baby boomer sedikit banyaknya berpengaruh
terhadap karakter generasi X, karena mereka dibesarkan generasi baby boomer.
Menjadi pertanyaan bagaimana guru generasi baby boomer dan guru generasi X
menghadapi zaman yang berubah terutama semakin pesatnya perkembangan teknologi
digital?. Bagi guru generasi baby boomer bisa saja kurang merespon teknologi digital
karena kira-kira 4 tahun lagi akan memasuki masa pensiun, tetapi bagaimana dengan
guru generasi X?. Jika tidak berbenah akan mengalami kesulitan dalam pekerjaannya
sebagai guru.
Selain perkembangan teknologi digital yang mempengaruhi pola pikir ke tiga generasi
(guru baby boomer, guru generasi X dan guru generasi Y), faktor kurikulum semasa
belajarnya juga mempengaruhi pola mengajarnya. Sebagian guru generasi baby boomer
dididik dengan kurikulum 1968 dan kurikulum 1975, dan guru generasi X masih didik
dengan kurikulum 1975 yang berorientasi pada hasil belajar peserta didik yang dikenal
denga model TIU dan TIK yang dipersiapkan guru dalam bentuk “ Satuan Pelajaran”.
Tidak hanya disitu saja guru dan peserta didik juga dipengaruhi kondisi politik
Indonesia saat itu yaitu bentuk ototarian orde baru. Guru tidak diberi ruang untuk
“ Kemampuan terbesar kita sebagai manusia bukanlah
untuk mengubah dunia; tetapi untuk mengubah diri kita
sendiri.” (Mahatma Gandhi)
berekspresi,
Negara mengutamakan stabilitas dan disiplin, dan anti kritik. Keadaan ini
sedikit banyaknya mempengaruhi guru generasi baby boomer dan guru generasi X
dalam merespon zaman yang berubah. Kemudian dilanjutkan dengan kurikulum 1984
atau sebutan kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan metode pengajaran dengan
Pendekatan Ketrampilan Proses yang dikenal dengan CBSA atau disebut juga metode
SAL (Student Active Learning), dalam implemetasinya sedikit gaduh di kelas karena
guru merespon dengan persepsi yang berbeda-beda tentang Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) terutama dalam merancang materi diskusi di kelas.
Generasi baby boomer dengan generasi X , memperoleh pendidikan dengan kurikulum
dan situasi politik yang sama. Guru generasi baby boomer cenderung dalam mengajar
dengan metode ceramah walaupun ada sebagian kecil mau menyesuaikan dengan
perkembangan teknologi digital masa kini, sedangkan guru generasi X pada zamannya
telah mulai mengenal teknologi PC, game, TV sehingga sedikit lebih mudah beradaptasi.
Warisan proses pendidikan yang dialami pada masa orde baru dan sistem politik salah
satu faktor guru sulit menerima pembaharuan, walaupun per dekade terjadi perubahan
kurikulum seperti; kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 yang dilanjutkan
dengan Kurikulum 2013 (K13), guru generasi baby boomer dan guru generasi X
kebanyakan sulit beradaptasi seiring dengan perkembangan teknologi digital. Guru
generasi baby boomer dan guru generasi X berhadapan dengan peserta didik generasi Z
dan generasi Alpha, yang senantiasa dekat dengan dunia internet dan gadget.
Guru generasi Y
Guru generasi Y yang disebut juga generasi milenial yang telah melewati milenium
kedua. Deskripsi generasi Y disebut juga digital native dimana penggunaan teknologi
dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat umum dan dampaknya yang sangat besar
dalam kehidupan keseharianannya, berbeda dengan generasi X disebut digital
immigrant dimana penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari bukanlah hal
umum dan belum memberi dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut psikolog Amerika Jean Marie Twenge ; generasi milenial (Y) memiliki sikap
percaya diri dan toleran, idealis, tidak takut perubahan tapi ada juga sikap negatif;
sebagian kurang memiliki loyalitas terhadap atasan, memiliki egosentris sedikit
menonjol sedikit narsisme dan entitlement (menyangkut hak), untuk itu pimpinan perlu
adaptif jika tidak akan menunjukkan tindakan bermuatan konpensasi negatif.
Kita abaikan sisi negatif generasi Y, guru generasi Y sangat diharapkan menjadi agen
perubahan dalam suatu unit pekerjaan pada zaman digital yang kita hadapi, merekalah
menjadi penolong bagi guru baby boomer dan guru generasi X dalam hal teknogi digital
yang semakin pesat perkembangannya. Seiring dengan perkembangan teknologi digital
Presiden Jokowi mencanangkan perubahan revolusi industri 4.0 dalam hal ini untuk
penciptaan lapangan kerja dengan penggunaan teknologi digital (industri transportasi,
pariwisata, media, kuliner, pendidikan dll).
Manfaat Teknologi Digital bagi Guru dan Orang Tua
Selain untuk tujuan pembaharuan pembelajaran semua guru harus belajar teknologi
digital yang sedang berkembang, karena guru sekaligus berperan sebagai orang tua di
dalam keluarga sehingga dapat memonitor peserta didik/anak dalam rumpun generasi
Z dan generasi Alpha di dalam keluarga, sehingga dapat diminimalisir ketergantungan
anak/peserta didik dalam penggunaan teknologi digital sehingga tidak terseret pada
adiksi (kecanduan) gadget yang kelak dapat merusak diri si anak atau peserta didik.
Guru dan orang tua yang melek teknologi digital dapat mengawasi anak/peserta didik
dalam penggunaannya sekaligus memberi bimbingan peran teknologi digital dalam
membantu proses belajar. Game, pornografi, hoax, ujaran kebencian dapat
mempengaruhi kehidupan belajar anak/peserta didik dan dapat menimbulkan perilaku
agresif. Guru dan orangtua mengharapkan anak atau peserta didik berperilaku asertif
yaitu memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan,
dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hakhak serta perasaan pihak lain.
Tanpa pengawasan dari guru dan orangtua peserta
didik/anak generasi Z dan generasi Alpha rentan terpapar adiksi (kecanduan) internet
dan gadget, sehingga anak/peserta didik kurang bergairah dalam belajar, sering
mengisolasi diri, suka melawan. Untuk itu guru sekaligus berperan sebagai orang tua
perlu mengatur penggunaan internet dan gadget sehingga anak/peserta didik jauh dari
penggunaan aplikasi digital yang membuat kecanduan. Guru dan orang tua tidak
mungkin menghentikan peserta didik atau anak menggunakan teknologi digital, karena
disekitar kita ada penyedia seperti warnet tetapi yang diperlukan pengelolaan
penggunaan teknologi digital sehingga tidak terjadi kegaduhan dalam keluarga karena
masih mungkin dalam satu keluarga bertemu lima generasi ini dengan keinginan yang
berbeda-beda.
Menurut Richard Dawkins ahli etologi dan biologi evolusioner semua generasi harus
dapat beradaptasi terhadap “meme digital” yang setiap waktu dapat berubah atau
mengalami replikasi. “ SEMUA HARUS MENGUBAH DIRI”.
Penulis : Drs. S P Sinaga
Komentar
Posting Komentar