Bahan Baku Obat dai Dolomit

Batuan dolomit selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan pupuk dan bahan bangunan. Padahal, kandungan magnesium karbonat dalam batuan ini bisa untuk bahan obat bernilai tinggi

               

Batuan dolomit banyak terdapat di Indonesia dengan kadar magnesium berbeda-beda. Kandungan magnesium dalam batuan sedimen ini bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan obat ataupun penambah kandungan susu ataupun peruntukan industri lain. Berdasarkan data Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (P2MM LIPI), konsentrasi magnesium terbaik berada di pantura timur Jawa hingga Madura, yaitu Rembang-Sumenep, yang terdapat deposit dolomit. Bahan tambang ini telah lama dieksploitasi untuk menjadi pupuk serta pembuatan bata, seperti hebel dan campuran semen bagi bahan bangunan yang bernilai rendah. Nurul Taufiqu Rochman, Kepala P2MM LIPI, pada tanggal 13 Agustus 2019, di Serpong, Tangerang Selatan, mengatakan pihaknya mendorong penelitian yang memberi nilai tambah dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Eko Sulistiyono, peneliti P2MM LIPI, menilai selama ini dolomit banyak dimanfaatkan sebagai pupuk bagi perkebunan sawit pada lahan gambut, untuk memperbaiki keasaman tanah gambut. Harga batuan sedimen untuk pupuk ini hanya Rp 1.000 per kilogram (kg). Apabila diambil kandungan magnesium karbonat (MgCO3), harganya bisa 50 kali lipat. Perbandingan harga ini didapatkan saat membeli MgCO3 melalui penjualan daring. Senyawa ini dijual sebagai anti-licin pada olehraga beban dan panjat tebing. MgCO3 ini didatangkan dari luar negeri.

Dolomit merupakan batuan kapur yang berbasis karbonat yang terdiri dari campuran magnesium karbonat dan kalsium karbonat (CaCO3). Proses pengambilan MgCO3 menggunaka  metode karbotasi. Penelitian ini dilakukan LIPI pada 2009-2010 dengan biaya dari Kementerian Riset dan Teknologi. Penelitian berlanjut hingga 2018 Eko menggunakan spray dryer untuk menghasilkan butiran MgCO3 yang sangat halus. Dalam penelitian ini, P2MM LIPI bekerja sama dengan perusahaan swasta, PT Polowijo Gosari, di Gresik, Jawa Timur, untuk suplai bahan penelitian berkisar 6-7 ton dolomit. Bongkahan besar dolomit dihancurkan hingga ukuran sekitar 1 sentimeter. Proses selanjutnya adalah kalsinasi, yaitu pembakaran dalam tungku bakar dengan panas hingga 725 derajat celsius selama 8 jam. Pembakaran ini mengambil/ mengurangi kandungan karbondioksida (CO2) pada dolomit.

Proses kalsinasi ini mengubah dolomit jadi senyawa kimia MgO.CaCO3. Dengan alat pulverizer atau penggiling, senyawa ini kembali dihaluskan 325-1.000 mesh. Proses berikutnya adalah slaking, senyawa itu dicampur air diaduk hingga diperoleh lumpur seperti air susu, dengan komposisi Mg(OH)2, air dan padatan CaCO3. Lumpur ini kembali diencerkan dengan perbandingan 14 kg lumpur dengan 300 liter air saat memasuki proses karbonatasi. Dalam proses ini, lumpur cair diberi paparan gas karbon dioksida (CO2) selama 30-45 menit sehingga diperoleh cairan Mg(HCO3)2 dan padatan CaCO3.

Hasil proses karbonatasi ini disaring dalam beaker glass dengan ukuran 2.000 mililiter untuk diperoleh larutan magnesium bikarbonat dan padatan kalsium karbonat. Selanjutnya, larutan magnesium bikarbonat dipanaskan sehingga muncul padatan yang semakin banyak. Padatan disaring dengan kertas saring standar menghasilkan padatan MgCO3 dan hasil samping berupa CaCO3. “CaCO3 masih bisa dipakai untuk pupuk,” jelasnya. Kemudian, MgCO3 dikeringkan dalam oven pada temperatur sekitar 100 derajat celcius selama kurang lebih tiga hari.


Menjanjikan

                Eko mengakui, proses dari dolomit menghasilkan magnesium karbonat ini telah dilakukan sejumlah lembaga penelitian. Hal yang membedakan, dirinya memanfaatkan spray dryer untuk mengolah cairan MgCO3 menjadi bubuk yang sangat halus. Spray dryer ini banyak digunakan dalam proses pembuatan minuman serbuk ataupun susu. Keseluruhan proses ini juga tidak menggunakan pelarut kimia ataupun tambahan bahan kimia lain, kecuali gas CO2 dan air. Biaya produksi sekitar Rp 25.000 per kg. Dengan harga produk impor yang mencapai Rp 50.000 per kg, marginnya sangat menjanjikan. Selain itu, kata Eko, MgCO3 yang dihasilkannya tak menggumpal seperti pada produk impor. Jadi, produknya ini lebih mudah dijadikan bahan filler dibandingkan produk impor.

                Penelitian ini pun sedang direncanakan untuk bekerja sama dengan Pusat Penelitian Karet untuk menjadikan MgCO3 campuran dalam pembuatan karet seal tabung gas. Penambahan senyawa ini diharapkan dapat menahan kekuatan karet dan membuatnya tahan panas. Selain itu, P2MM LIPI sedang meningkatkan hasil riset ini menjadi nano magnesium karbonat. Prosesnya memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan menggunakan beragam media selain air, yaitu alkohol, ethylene glycol, dan lain-lain. Hasilnya adalah material magnesium karbonat dengan ukuran nano telah sampai pada ukuran 50 nm. Dengan ukuran nano yang bisa dimanfaatkan untuk bahan baku farmasi ataupun pembuatan tinta, nilai tambah bisa ditingkatkan menjadi Rp 450.000 per kg. (Ichwan Susanto)

 

 



Sumber : Kompas 2 September 2019

Komentar

Postingan Populer