Kuncup Mitigasi Mulai Tumbuh

Sejumlah orang menanam bakau di pesisir dan menyebarkan pemahaman terkait mitigasi bencana lewat media sosial. Tujuannya adalah meredam dampak bencana serupa di masa depan.

 

Pascagempa, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Sulawesi Tengah, setahun lalu, cahaya kebaikan mulai menyebar. Salah satunya dalam wujud mitigasi bencana. Beberapa orang dengan kesadaran tinggi melakukan upaya agar bencana tak terulang kembali, minimal memperkecil dampaknya. Di Teluk Palu, tampak bibit bakau setinggi 45 sentimeter berbaris. Tangkainya masih ditopang potongan kayu dan bambu agar tetap tegak. Bakau jenis Rhizophora apiculata tesebut, yang ditanam sebulan lalu berjumlah 1.400 pohon.

Amsir Toleso (45) bersama 20 anak muda setempat menanam bakau itu di muara sungai kecil Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu sekitar 20 kilometer dari pusat kota. DI selatan muara, tepatnya di pesisir pantai, Amsir juga menanam 500 bibit lain, dua minggu lalu. Baru sebagian bibit bakau di dua lokasi tersebut yang tumbuh daun di pucknyam, banyak bibit masih hijau. “Saya setiap hari di sini. Kalau ada bibit mati, langsung diganti yang baru. Sudah sekitar 100 pohon diganti, mungkin karena terlalu panas,” tutur Amsir, Ketua Kelompok Nelayan Palara, Jumat (20/9/2019).

Bibit untuk penyulam (pengganti) berjumlah 8.000 pohon. Bibit itu dirawat di bangunan kecil di muara kali. Bibit itu merupakan bantuan organisasi masyarakat sipil Penabulu Alliance. Amsir menanam bakau untuk melindungi ekosistem pantai, termasuk permukiman desanya dari potensi bencana terutama tsunami. Ia memilih cara alami tersebut berdasarkan pengalaman gempa dan tsunami pada 28 September 2018.

Akibat tsunami, tanggul beton sepanjang 0,5 kilometer dengan tinggi 2 meter di pantai hancur total. Potongannya masih terserak hingga ke daratan. Tanggul itu tidak mampu melindungi nyawa manusia dan permukiman di belakangnya. Di Kayumalue Pajeko, tsunami menewaskan 2 orang dan menyapu 30 rumah. Bagi Amsir, hancurnya tanggul memberi pesan sangat gamblang. “Ciptaan Tuhan harus dihadapi dengan ciptaan Tuhan, jangan dilawan dengan ciptaan manusia,” ucapnya.

Pandangan yang sama di sampaikan Amsir terkait rencana pemerintah membangun tanggul sepanjang 7 kilometer di tepi muara Sungai Palu. Pemerintah akan membangun tanggul dari Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, hingga Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, untuk menahan tsunami yang pada 2018 meluluhlantakkan kawasan itu. “Tanggul menghambur-hamnurkan uang. Bakau atau mangrove menghemat banyak uang dan manfaatnya lebih banyak pula,” katanya.

Menurut rencana, Amsir dan anak-anak muda di Kayumalue Pajeko akan menanam total 9.000 bibit bakau di kawasan pesisir desa sepanjang 800 meter dengan lebar 30 meter. Kawasan itu punya jejak bakau. “Kami dulu memang pernah tanam (bakau), tetapi karena rendahnya kesadaran masyarakat, bibit-bibit itu tak pernah jadi. Ada yang cabut,” katanya.

 

Berubah sikap

Setelah bencana lalu, pandangan warga stempat mulai berubah. Hingga satu bulan lebih, tidak ada bibit bakau yang dicabut. Amsir menyebut sikap warga terhadap bakau sekarang berbeda, termasuk yang dulu menganggap bakau mengganggu lalu lintas perahu dan penjaringan ikan di panjai. Mayoritas warga di kelurahan itu berprofesi sebagai nelayan. Fungsi mangrove meredam tsunami sudah dirasakan warga Kelurahan Kabonga Besar dan Kabonga Kecil di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Di beberapa lokasi, energi tsunami berhasil diredam pohon-pohon bakau sehingga kerusakan di daratan tak terlalu besar.

Hal berbeda dialami lokasi lain di garis pantai yang sama, seperti Desa Loli Tasibura dan Loli Pesua. Rumah-rumah di pinggir pantai disapu tsunami karena tak ada penghalang.Hal itu yang turut mengubah pandangan dan sikap warga terhadap tanaman bakau. Selain untuk kepentingan mitigasi, bakau juga penting sebagai tempat perkembangbiakan ikan dan biota laut lain. Bakau bisa menggantikan fungsi karang. Tsunami yang lalu turut menghancurkan bentangan karang di sekitar perairan Kayumalue Pajeko.

“Banyak bongkahan karang terlempar ke darat,” tuturnya. Dampaknya, ikan-ikan karang yang sebelum bencana sering ditangkap nelayan setempat kini sangat sulit didapat. “Kalau dulu bisa menangkap sampai 2 kilogram ikan per hari, saat ini sering tidak dapat sama sekali,” ujarnya.

 

Media sosial

Sementara itu, usaha menumbuhkan kesadaran mitigasi dilakukan pegiat literasi kebencanaan, Neni Isnaeni (41). Informasi tentang kebencanaan disebar lewat media sosial Facebook dengan akun Parveen Mohamad. Sejak kejadian bencana tahun lalu, 27 artikel telah dimuat Neni di Facebook. Tulisan terakhirnya mengupas hasil penelitian Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Palu tentang Analisis Indeks Kerentanan Seismik.

Penelitian tersebut menghasilkan peta mikrozonasi pergerakan tanah dan skala guncangan akibat gempa di 42 kelurahan Palu. Intinya, hampir semua tempat di Palu memiliki potensi pergerakan tanah (likuefaksi) tinggi. Tulisan tersebut disukai 229 orang, 37 komentar, dan dibagikan 187 kali. “Tujuannya membumikan hal-hal terkait kegempaan yang kadang bahasanya melangit,” ujar pengasuh Nemu Buku, perpustakaan untuk umum di Palu.

Literasi kebencanaan penting sebagai rekaman akan jejak bencana. Selama ini gempa-gempa besar di Palu tak meninggalkan catatan atau ingatan kolektif memadai. Gempa pada 28 September 2018, misalnya ternyata sama model kehancurannya dengan gempa 1938. Namun, masyarakat tak memiliki pengetahuan akan bencana tersebut. Inisiatif serupa dilakukan dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, Palu, Abdullah. Hampr setiap minggu sejak bencana terjadi ia menyebarkan informasi kebencanaan di Facebook dilengkapi dengan foto dan keterangan. Penulis buku Tsunami di Teluk Palu dan Sesar Palu-Koro tersebut menyertakan tagar #BangkitMandiri dan #JanganSalahBangkit.

“Tujuan saya supaya banyak yang tahu tentang bencana. Facebook saya anggap efektif untuk itu,” kata Abdullah yang memasang nama Abed Petta Laja di akun Facebook. Salah satu ulasannya, awal September tentang pentingnya monumen untuk merawat ingatan akan bencana. Dua oprit (bagian pangkal) Jembatan Kuning di muara Sungai Palu, menurut dia, bisa dipertahankan untuk menjadi monumen. Jembatan sepanjang 150 meter itu hancur karena gempa da tsunami, menyisakan dua oprit di sisi timur dan barat muara sungai.

Hal serupa dilakukan di Jerman. Hanya separuh Tembok Berlin yang dirobohkan. Satu gedung yang rusak karena bom juga tak dirobohkan. Keduanya menjadi pengingat akan Perang Dunia II. “Bencana besar perlu dibuatkan monumen untuk merawat ingatan kita dan generasi mendatang agar tak melupakan kejadian tersebut sekaligus jadi bagian dari pendidikan mitigasi. Dua oprit bisa dijadikan monumen sehingga pemerintah bisa menghemat anggaran,” tulis Abdullah.


 

Sumber : Kompas, 28 September 2019


Komentar

Postingan Populer