Pesawat Nirawak Amfibi untuk Mitigasi Bencana

Tim dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada menciptakan pesawat tanpa awak amfibi untuk mitigasi bencana

Rumitnya pemantauan berkala area rawan bencana seperti gunung berapi menjadi inspirasi bagi para peneliti di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada berinovasi. Mereka menciptakan drone (pesawat nirawak) amfibi untuk pemetaan dan pengawasan rutin area rawan dan terdampak bencana. Pesawat nirawak bernama Amphibi UAV Gama V2 itu memiliki panjang badan 160 sentimeter dengan bentang sayap 2 meter. Pesawat ini merupakan perkembangan riset drone yang dilakukan sejak tahun 2015.

Pada tahun 2015 risetnya fokus pada mitigasi bencana dan konteksnya adalah Gunung Merapi di Yogyakarta ,” kata Kepala Program Studi Ilmu Komputer FMIPA UGM Yogyakarta Tri Kuntoro Priyambodo, di Yogyakarta, Selasa (23/72019). Pemantauan area rawan bencana biasanya memakai telemetri, alat yang dipasang di titik tertentu. Selain mahal, pemasangan telemetri butuh waktu lama karena harus diangkut ke lereng gunung dan dirakit secara manual. Apalagi, ada resiko telemetri dicuri atau rusak.

Pesawat tanpa awak tahap awal bernama UX 530 itu memotret jalur lava dan kubah gunung untuk menghitung tumpukan material beresiko runtuh saat hujan. Evaluasi rutin itu melihat pergerakan  material dan perubahan aktivitas Merapi. Analisis temuan lapangan dilakukan para pakar dari Fakultas Geografi UGM. Pada 2016 pesawat nirawak seri UX dibawa Tri dan tim ke Tanjung Selor di Kalimantan Utara. Area pedalaman itu rawan terendam air saat musim hujan. Ketika tim itu tiba, sebagian besar area tertutup air.

“Seri UX masih memakai roda. Kami sulit mencari dataran kering untuk lepas landas dan mendarat. Maka, terbesit ide memodifikasi drone jadi amfbi, salah satumya menggantI roda dengan ski agar bisa bertolak di atas air,” kata Tri. Tim lalu mengembangkan drone versi UAV yang berarti amfibi. Prosesnya bekerja sama dengan Pusat Teknologi Satelit dan Kedirgantaraan UGM. Tiga tipe drone dikembangkan tim itu, yakni tipe beroda untuk lepas landas dan mendarat di darat, tipe amfibi, dan tipe lepas landas serta mendarat verikal. Pesawat nirawak versi UAV pada 30 Juli 2019 mendapat paten dari pemerintah.

 

Berbentuk pesawat

Tri menjelaskan, tim membuat drone berbentuk pesawat, bukan palang dengan baling-baling seperti lazimnya drone. Alasannya, agar selama terbang drone bisa melayang dengan memanfaatkan angin tanpa menghidupkan mesin. Pesawat nirawak itu bertenaga listrik dengan kapasitas terbang maksimal 30 menit. Kemampuan pesawat melayang tanpa mesin memungkinkannya terbang lebih lama. Biasanya mesin dimatikan saaat drone tiba di atas terget pantauan. Setelah selesai mengambil gambar, mesin dihidupkan lewat pengendali jarak jauh dan drone kembali ke tempat asal.

“Di dalam drone, ada komputer dengan mode pilot otomatis. Pesawat bisa mengikuti rute di komputer,” kata Tri. Setiap menjalankan misi, tim membuat peta wilayah dan alur penerbangan diunggah ke komputer drone. Jika pemakaian baterai listrik saat terbang 20 meter, pesawat nirawak kembali ke tempat lepas landas. Setiap tahun tim mengembangkan satu drone dengan fokus memantau udara area rawan bencana. Riset itu melibatkan mahasiswa program pascasarjana yang menjadikan bagian spesifik drone sebagai materi tesis. Pembuatan drone memakai serat karbon dan resin. Harapannya, pesawat nirawak amfibi bisa dibuat dari bambu. Karena itu, tim peneliti bekerja sama dengan Universitas Hang Tuah Surabaya yang punya keunggulan dalam kajian kelautan. “Bambu lebih lentur daripada serat karbon sehingga tak patah saat terpukul angin kencang,” ungkapnya.

Inovasi itu diharapkan diadopsi pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Jadi, pemda bisa memantau area secara rutin agar mitigasi bencana jadi program berkelanjutan. Selain inovasi teknologi, menurut peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Deny Hidayati, mitigasi bencana perlu melibatkan warga setempat lewat pendidikan siaga bencana. Mitigasi mesti sesuai karakteristik lokal, diperbaharui, dan latihan rutin agar mudah diingat (Kompas, 3 Januari 2019).

 

Sumber : Kompas, 16 September 2019 (Laraswati Ariadne Anwar)


Komentar

Postingan Populer