Ironi Seni dan Konservasi Daun Khatulistiwa
Belum sepekan sejak
instalasi Daun Khatulistiwa ditenggelamkan Yayasan Terumbu Rupa di Perairan
Jikomalamo, Ternate, Maluku Utara, 25 September 2019, sejumlah pegiat wisata
dan konservasi bawah air memprotesnya. Rangka logam berbobot sekitar 400
kilogram itu dituding merusak sejumlah karang serta merusak keindahan
pemandangan alami ekosistem terumbu karang setempat. Instalasi karya perupa
Teguh Ostenrik yang juga dikenal dengan nama Domus Frosiquilo itu merupakan seni
rupa logam ke-9 yang ditenggelamkan Yayasan Terumbu Rupa (YTR) di laut dalam
program ARTificial Reff.
Sebelumnya, organisasi
yang berisi sejumlah profesional dari berbagai latar belakang yang tergerak
merevitalisasi karang melalui media instalasi seni sebagai tempat koral
bertumbuh ini memasang delapan instalasi di Senggigi (Lombok, Nusa Tenggara
Barat), Waha (Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Pulau Sepa (Kepulauan Seribu,
Jakarta) dan Pulau Bangka (Sulawesi Utara). Penurunan delapan rangka ini minim
protes. Hal yang diprotes adalah instalasi diturunkan diatas rataan karang yang
masih bagus. Karang jenis foliose
patah akibat tertimpa logam dengan lingkaran kubah berdiameter 7 meter setinggi
3,5 meter tersebut. Menurut pemrotes, niat merestorasi terumbu karang dengan
cara merusak terumbu karang disebut tidak masuk logika konservasi.
Di sebagian Pantai
Jikomalamo, kondisi perairannya sengat baik. Perkiraan pakar setempat,
kerapatan karangnya bisa di atas 80 persen atau masuk kategori tutupan karang
yang sangat baik menurut skala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Kondisi ini jarang terjadi mengingat catatan P2O LIPI,
di Indonesia hanya tersisa 6,56 persen kondisi tutupan karang yang sangat baik,
dan 22,9 persen baik. Nurhalis Wahidin, pengajar di Fakultas Perikanan dan
Kelautan Universitas Khairun Ternate, menyayangkan apabila upaya merehabilitasi
karang itu justru merusak karang sehat. Ia menilai Pantai Jikomalamo terlalu
baik untuk dijejali berbagai terumbu buatan. Di pantai itu juga terdapat
ketelanjuran instalasi bawah air lainnya, seperti SPBU, motor, bus, serta
beberapa model “prasasti” bawah air buatan.
Pemandangan terumbu
karang buatan itu merusak pemandangan terumbu karang alami yang masih sangat
bagus. “Saya pernah sarankan agar jangan ditambahkan lagi karena alaminya lebih
bagus. Kalaupun ditambah, perhitungkan lokasinya yang di tempat rusak, karena
sebagian aksesori ini malah ditempatkan di tempat yang sehat,” kata Nurhalis. Lokasi
alternatif pemasangan instalasi di Ternate, menurut dia, ada di titik
Penyelaman Sulamadaha dan Pantai Nukila. Namun, diakui, di tempat-tempat ini tekanan
bagi karang sangat kuat karena sedimen dan sampah dari daratan yang dibuang ke
sungai dan mengalir ke tempat-tempat ini.
Aditya Agoes, pengelola
Nasijaha Dive Center di Ternate, juga memprotes dan menyayangkan penurunan
kembali calon terumbu buatan di Jikomalamo. Selain sepakat dengan alasan-alasan
Nurhalis, ia pun menyoroti desain instalasi kerangka Daun Khatulistiwa yang
menyediakan jalan masuk bagi penyelam de dalam kubah. Jalan masuk ini bisa
menjadi pendorong kerusakan foliose
yang hidup ataupun karang yang menempel di kubah karena tersenggol penyelam.
Menurut Aditya, hal ini menjadi petunjuk kerangka tersbut bukan murni untuk
tujuan konservasi. Struktur kubah yang ditempeli ornamen berbentuk daun jati
yang juga terbuat dari logam itu dinilai sebuah karya maha seni yang ditujukan
untuk mengundang penikmat wisata selam.
Relatif kecil
Menanggapi
protes ini, pengurus YTR menyebutkan kerusakan karang akibat menjadi tumpuan
pipa kerangka ini berkisar 0,53 meter persegi. Luas kerusakan relatif kecil
karena sebagian besar diameter kubah berdiri diatas rataan foliose yang
rusak. Kerusakan karang itu, menurut YTR akan digantikan lebih banyak oleh
karang-karang yang hidup menempel logam yang di klaim terbuat dari galvanized sehingga tahan karat.
Diperkirakan, karang-karang yang terpasang serta tambahan penempelan/perekrutan
alami oleh larva karang pada struktur tersebut bisa mencakup 80 persen dari
luas area kubah atau sekitar 61,6 meter persegi.
Lokasi
ini dipilih karena Pantai Jikomalamo memiliki area cukup luas dengan kontur
rata dibawah laut untuk meletakkan struktur ARTificial Reff di tepat yang
karangnya sudah rusak, kualitas air yang ideal untuk karang bertumbuh, dan
ketersediaan bibit karang untuk ditempel
atau ditransplantasi pada struktur. Area ini pun dekat dengan La Conna Diving
Club yang menyediakan logistik penyelaman sehingga memudahkan kegiatan
pemeliaharaan selama dua tahun mendatang. Pemeliharaan tersebut di antaranya
pembersihan karang dari invasi alga
dan sponge serta pengukuran
pertumbuhan.
Media
logam, kata Muhammad Abrar, peneliti P2O LIPI yang tak terlibat dalam kegiatan
YTR, bisa menjadi substrat pelekatan atau pertumbuhan karang ataupun larvanya.
Rekonstruksi idealnya dilakukan pada daerah dengan terumbu rusak. (Ichwan Susanto)
Sumber : Kompas,
14 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar