Biji-bijian Baik bagi Tanah Kering
Sumba Timur yang kering
bisa memenuhi kebutuhan pangannya jika membudidayakan tanaman sesuai iklimnya.
Sorgum yang dulu dibudidayakan warga merupakan salah satu jawabannya.
Hingga
1980-an, masyarakat desa di pedalaman Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, masih
berswadaya dengan aneka sumber pangan, salah satunya sorgum yang dalam bahasa
lokal disebut watarhammu. Artinya,
biji-bijian baik. Penyeragaman budidaya dan konsumsi beras membuat mereka kini
bergantung pangan dari luar pulau. Kini, jangankan untuk memenuhi kebutuhan
pangan warga, untuk pakan babi pun mereka harus membeli polar (pollard) atau dedak gandum impor. Untuk kebutuhan
pangan sehari-hari, warga membeli beras dari kota, selain bergantung pada
bantuan rastra (beras sejahtera).
Sebagai
contoh, keluarga Ince Njurumana, Kepala Dusun Djangfa Meha, Desa Meurumba, yang
terdiri atas lima orang, membeli beras rata-rata 50 kilogram per dua minggu
atau 100 kg per bulan. Dengan harga beras di desa Rp 11.000 per kg, itu berarti
tiap bulan dia mengeluarkan uang 1,1 juta per bulan untuk beras saja. “Hasil
panen padi warga tak pernah cukup. Makin ke sini, hasilnya semakin kurang
karena kerap gagal panen. Hujan tidak menentu dan hama banyak. Musim panen
lalu, kami gagal panen,” kata Kepala Desa Meurumba, Kecamatan Kahaungu Eti,
Sumba Timur, Balla Nggiku (60).
Manurut
Ince Njurumana (24), menuturkan hasil panen padi hanya cukup untuk makan tiga
bulan. Selebihnya, warga membeli beras, selain bantuan rastra atau dulu bernama
beras miskin dari pemerintah. Lahan sawah warga Desa Meurumba dan Meuramba
terbatas, kurang dari setengah hektar per keluarga. Banyak warga tidak memiliki
sawah.
Meski
tidak mempunyai sawah, pada masa lalu warga Desa Meuramba dan Meurumba, seperti
desa-desa lain di Pulau Sumba, bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. “Sampai
1980-an, kami makan dari hasil ladang sendiri. Waktu itu, kami masih tanam padi
ladang, watar willi (sorgum), uhu kani (jewawut), dan macam-macam umbi,”
kata Yusuf Umburutung warga Desa Mauramba. Selain biji-bijian, dulu warga Sumba
Timur juga mengonsumsi beragam jenis umbi, diantaranya litang, ganyong, luwa,
ubi jalar, singkong, dan keladi. Umbi yang masih dibudidayakan diantaranya
singkong dan ubi jalar, tetapi lebih banyak untuk pakan ternak. “Setelah hanya
makan beras, kami kini kekurangan pangan. Jadi, harus beli dari luar,” kata
Balla.
Iklim
di Sumba Timur yang kering dengan hari hujan terbatas kurang cocok dengan padi sawah. Perubahan pola
konsumsi warga ke beras memicu defisit pangan. Menurut data Badan Pusat
Statistik Sumba Timur tahun 2016, produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi warga Sumba Timur hanya 32,5 persen dari total konsumsi 125.427 ton.
Perubahan
iklim
Defisit
beras di Sumba Timur diperkirakan kian parah pada tahun-tahun mendatang seiring
perubahan iklim. Riset oleh peneliti iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG), Amsari dan tim (2019), menunjukkan hasil uji tren hari
kering berturutan pada 1981-2018 naik 2-4 hari per 10 tahun di Rambangaru,
pesisir timur Sumba Timur. Jadi, kekeringan di Sumba Timur meningkat. “ Hari
kering berturutan yang meningkat terjadi di bagian selatan Indonesia, terutama
NTT. Fenomena ini konsisten dengan proyeksi perubahan iklim di masa depan,
bahwa daerah kering akan cenderung makin kering,” kata Kepala Subbidang
Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto.
Perubahan
iklim akan jadi tantangan besar di masa depan dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Berdasarkan kajian Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) bersama
Kementerian Pertanian serta BMKG yang dirilis pada Januari 2018, tanaman padi
amat rentan perubahan iklim. Sementara, studi Aldrian dan tim (2015)
menunjukkan keterlambatan hujan satu bulan karena perubahan iklim bisa
menurunkan produksi beras 65 persen di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Bali,
produksi padi menurun 20 persen, 20 tahun terakhir karena perubahan iklim.
Dengan
bertambahnya pengonsumsi beras, sedangkan lahan sawah penghasil lumbung padi di
Jawa dan Bali menyusut, upaya pemenuhan pangan ke depan kian sulit jika
ditumpukan pada beras. Sumba dan NTT umumnya jadi contoh nyata bahaya
penyeragaman pangan menjadi beras. Secara alami, lahan-lahan yang cocok bagi
tanaman padi di daerah itu amat terbatas . Namun, NTT sebenarnya memiliki
beragam potensi sumber pangan lain dan turun-temurun dibudidayakan warga,
diantaranya sorgum.
Berbeda
dengan tanaman padi, sorgum tumbuh baik di iklim kering dengan air terbatas.
Marcia Pabendon, peneliti pad Balai Penelitian Tanaman Serelia, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, menyebut daerah
NTT, yang beriklim kering, seharusnya bisa mencukupi pangan jika mengembangkan
sorgum. Flores Timur, khususnya Desa Likotuden, misalnya, sukses mencukupi
kebutuhan pangan dengan kembali ke sorgum. Diinisiasi Maria Loreta desa yang
dulu kekurangan pangan, kini surplus dan menjual sebagian hasil budidaya sorgum
ke luar kota. Selain memenuhi kebutuhan pangan, sorgum juga mengandung protein
tinggi dan beragam nutrisi baik sehingga jadi tumpuan untuk mengatasi soal gizi
di Flores Timur.
Menurut
Pabendon, sorgum membutuhkan cahaya matahari 9-12 jam sehari sehingga cocok
bagi area ini. Sorgum mempunyai efesiensi fotosintesis tinggi sehingga optimal
di tanah dengan sumber hara dan air terbatas. Selain disebut watar willi atau jagung tinggi, warha di
Sumba Timur menyebut sorgum sebagai watar
hammu atau biji-bijian baik. Tanaman ini berproduksi dan memberi panen baik
saat tanaman lain sulit menghasilkan. (Ahmad
Arif)
Sumber :Kompas,
18 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar