Kemandirian Bahan Baku Antibiotik
Tim dari Balai Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi meneliti sefalosporin, jenis antibiotik yang menahan degradasi enzim penisilin. Inovasi itu selangkah lagi menuju komersialisasi
Bahan baku
antibiotik untuk kebutuhan dalam negeri masih dipenuhi dengan produk impor.
Padahal, antibiotik merupakan bahan obat penting untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi. Sejumlah riset dikembangkan demi menghasilkan bahan baku
lokal antibiotik. Lebih dari 90 persen bahan baku obat di Indonesia masih
impor. Setidaknya, bahan baku yang diimpor saat ini senilai 4 juta dolar AS
(Kompas, 28/3/2019). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2013, dari seluruh
anggaran yang dialokasikan untuk obat-obatan, 23,3 persen untuk pengadaan
antibiotik. Pemenuhan bahan baku antibiotik mencapai 15 miliar setiap tahun.
Menteri
Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam acara pisah sambut Menteri Kesehatan di
Jakarta, pekan lalu, menyampaikan Presiden Joko Widodo memberi arahan bahwa
kemandirian bahan baku obat serta harga obat dan alat kesehatan yang terjangkau
menjadi prioritas kerja yang harus diwujudkan. Jadi, para peneliti dan industri
farmasi di dorong agar berinovasi menghasilkan produk farmasi dalam negeri.
Dalam Rencana Induk Riset Nasional 2015-2045, penelitian kesehatan dan obat
menjadi salah satu prioritas. Hal itu bertujuan menghasilkan teknologi
pengembangan bahan baku obat sebagai substitusi impor.
Sefalosporin
menjadi target riset bahan baku obat kimia dalam pengembangan teknologi kemandirian
bahan baku obat dalam rencana induk tersebut. Bahan obat itu merupakan jenis
antibiotik golongan beta-laktam yang bisa menahan degradasi enzim penisilin.
Antibiotik itu diperlukan karena resisten pada antibiotik penisilin meningkat.
Skala
komersial
Pengembangan
riset sefalosporin dilakukan di Balai Bioteknologi Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Penelitian yang diinisiasi sejak tahun 2016 itu
siap dikembangkan ke skala komersial. Ada dua industri yang terlibat, yakni PT
Kimia Farma Tbk dan Sungwun Pharmacopea dari Korea Selatan. “Tahun ini
ditargetkan beberapa tahap yang dibutuhkan mitra industri bisa selesai sehingga
bisa segera masuk tahap komersialisasi,” kata Kepala Balai Bioteknologi BPPT
Agung Eru Wibowo.
Sefalosporin C
yang dikembangkan BPPT merupakan golongan antibiotik bera-laktam yang
dihasilkan melalui fermentasi cair dari mikroba Acremonuim chrysogenum. Dalam proses produksi bahan oabat ini,
sumber karbon dan nitrogen menjadi komponen yang sangat berpengaruh. Komponen
karbon didapatkan dari molases atau ekstrak tebu yang dimanfaatkan sebagai
sumber karbon dan limbah jagung yang diolah menjadi corn steep liquor untuk sumber nitrogen. Dua bahan itu melewati
proses biokonversi sehingga bisa berubah menjadi senyawa asam 7 ACA (asam
7-aminosefalosporanat). Senyawa itu merupakan senyawa antara yang digunakan
untuk membuat derivat atau turunan sefalosporin dengan memakai metode
enzimatik. Turunan sefalosporin yang banyak digunakan, seperti cefotaxime dan cefuroxime.
Secara umum,
kondisi yang bisa diobati dengan antibiotik sefalosporin ialah infeksi telinga,
pneumonia, meningitis, infeksi ginjal, infeksi tulang, infeksi tenggorokan, dan
infeksi menular seksual, seperti gonore (gonorrhea).
Sefalosporin lebih banyak digunakan dibanding antibiotik lain karena lebih
kecil kemungkinan memicu alergi. Sifat racunnya pun lebih rendah daripada
antibiotik lain. Pasien yang alergi terhadap penisilin biasanya tahan
antibiotik sefalosporin ataupun turunannya.
Agung
menambahkan, pengembangan antibiotik sefalosporin ke depan diharapkan memenuhi
kebutuhan nasional dan global. Menurut proyeksi kebutuhan antibiotik global
hingga tahun 2028, kebutuhan sefalosporin 24,1 persen dan penilaian 14,2
persen. Adapun kebutuhan antibiotik lain yang diantaranya meliputi
fluoroquinolones sebesar 12,3 persen, makrolides 9,8 persen, dan carbapenems
6,6 persen.
Data itu
menunjukkan, peluang pasar yang bisa dimanfaatkan Indonesia cukup besar dengan
inovasi yang terus berkembang. Potensi sumber daya hayati di Indonesia tinggi
untuk mendukung kemandirian bahan baku obat bermutu.
Keunggulan
Produksi
sefalosporin C diharapkan memberi efek domino untuk memicu industri kecil
memasok bahan baku lokal yang dibutuhkan. Penemuan itu juga membuka peluang
lebih luas melaksanakan pengembangan lain. “Teknologi biokonversi dari
sefalosporin C dari 7 ACA bisa dikembangkan lagi menjadi teknologi satu tahap.
Selama ini, proses yang kami lakukan menggunakan tiga tahap. Dengan begitu,
proses prosuksi lebih cepat,” kata Agung.
Dalam riset yang
dilakukan, lanjutnya tidak ada kendala yang berarti. Biasanya, kendala yang
ditemui pada aspek teknis. Produktivitas yang dihasilkan sangat bergantung pada
stabilitas mikroba. “Untuk proses komersialisasi, kesiapan mitra sangat
memengaruhi. Mitra industri tentu memiliki pertimbangan tersendiri, terutama
berkaitan dengan kelayakan teknologi dan nilai bisnis yang bisa bersaing dengan
teknologi lain. Dengan meenggunakan bahan baku lokal, persoalan itu diharapkan
bisa teratasi,” ujar Agung
Jika produksi antibiotik
berjalan optimal, ketergantungan bahan baku impor berkurang. Kini produsen
utama sefalosporin ialah China dan India. “Selain jadi bahan baku sefalosporin
dan senyawa 7 ACA, BPPT akan mengembangkannya menjadi produk turunan
sefalosporin. Jadi,bahan baku sampai produk turunannya diproduksi di dalam
negeri,” katanya (Deonisia Arlinta)
Sumber : Kompas, 28 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar