Fondasi Baru untuk Melawan Penyakit
Tiga perintis kajian bagaimana sel manusia merespons perubahan tingkat oksigen mendapat penghargaan Nobel Kedokteran tahun 2019.
Penghargaan Nobel Bidang Kedokteran pada 2019 diraih tiga sosok perintis kajian bagaimana sel manusia merespon dan beradaptasi pada perubahan tingkat oksigen. Hasil kajian mereka menjanjikan strategi melawan anemia, kanker, dan penyakit lain. Tiga peraih Nobel Kedokteran itu adalah William Kaelin Jr, Sir Peter Ratcliffe, dan Gregg Semenza. Pengumuman itu disampaikan di Karolinska Intitute, Stockholm, Swedia, Senin (7/10/2019), dan bisa diakses secara daring. Ketiganya berbagi hadiah senilai 9 juta kron Swedia atau 914.000 dolar AS.
Menurut penjelasan Majelis Nobel dalam laman nobelprize.org, oksigen (O2) telah lama diketahui sebagai dasar kehidupan di Bumi, termasuk bagi manusia. Namun, bagaimana sel tubuh beradaptasi dengan perubahan kadar oksigen sejauh ini tak diketahui dengan baik. Tiga peneliti itu dinilai menemukan cara sel bisa merespons dan beradaptasi pada perubahan ketersediaan O2. Mereka mengidentifikasi mesin molekuler yang mengatur aktivitas gen menanggapi berbagai tingkat oksigen. Itu jadi dasar memahami cara kadar oksigen memengaruhi metabolisme seluler dan fungsi fisiologis. Temuan itu juga membuka strategi memerangi anemia, kanker dan penyakit lain.
Randall Johnson, anggota Majelis Nobel, menyebut karya tiga orang itu sebagai “penemuan buku teks” dan akan jadi dasar penting bagi pelajaran dasar di pendidikan biologi. “ini aspek dasar dari cara kerja sel, dan saya pikir dari sudut pendang itu saja itu adalah hal amat menarik,” kata Johnson.
Adaptasi oksigen
Kaelin lahir di New York dan mendirikan laboratorium risetnya sendiri, yaitu Dana-Farber Cancer Institute, di Boston dan jadi profesor penuh di Harvard Medical School pada 2002. Semenza juga lahir di New York, jadi profesor penuh waktu di Universitas Johns Hopkins pada 1999. Adapun Ratcliffe, yang lahir di Lancashire, Inggris, belajar kedokteran di Universitas Cambridge dan jadi profesor di Universitas Oxford sejak 1996. Melalui riset ketiganya, kita memahami lebih baik cara kadar oksigen memengaruhi kerja tubuh. Selain respons fisiologis pada hipoksia atau oksigen rendah, tubuh beradaptasi lewat kadar hormon erythropoietin (EPO), mengarah pada kenaikan produksi sel darah merah (erythropoiesis).
Pentingnya kontrol hormonal dari erythropoiesis diketahui pada awal abad ke 20, tetapi cara proses itu dikendalikan O2 sebelumnya menjadi misteri. Semenza mempelajari gen EPO penyebab tubuh memproduksi lebih banyak sel darah merah dan mengisolasi segmen DNA spesifik yang membantu beradaptasi dengan kadar oksigen rendah. Ratcliffe dan Semenza menerapkan pengetahuan itu demi menunjukkan mekanisme penginderaan oksigen di hampir semua jaringan manusia. Kaelin mengidentifikasi gen lain pada pasien dengan kelainan genetika sehingga memiliki risiko kanker lebih besar. Gen itu mengembalikan kemampuan tubuh mencegah kanker, dan berperan kunci dalam usaha sel kanker merespons kadar oksigen rendah.
Kajian ketiga peneliti ini memberi pengetahuan baru pada proses tingkat sel spesifik yang dialami tubuh saat kurang oksigen, mulai dari membantu otot berfungsi saat latihan fisik hingga beradaptasi dengan kehidupan di daerah ketinggian. Hal tersebut membuat kita mengetahui cara menghidupkan dan mematikan gen yang memengaruhi kadar oksigen. Jadi, kita bisa membunuh sel kanker, atau merangsang pertumbuhan pembuluh darah pada pasien jantung. Penderita ginjal kronis bisa mendapat suntikan untuk mendorong kadar oksigennya.
Kanker memakai pengatur oksigen demi membajak pembentukan pembuluh darah sehingga sel kanker menyebar. “Upaya di laboratorium akademik dan industri farmasi fokus mengembangkan obat untuk mengganggu penyakit dengan mengaktifkan atau memblokir pengindera oksigen,” sebut Komite Nobel. (AIK)
Komentar
Posting Komentar