Pangan Nusantara
Keanekaragaman
hayati merupakan kado alam terbesar di negeri ini, tetapi kerap dipandang
sebelah mata. Beragam sumber pangan utama yang membentuk kekayaan budaya
kuliner kita telah diseragamkan menjadi beras, dan belakangan gandum.
Penyeragaman pangan itu selain berdampak buruk bagi lingkungan dan ekonomi,
juga merogrong kesehatan tubuh kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik,
porsi beras dalam memenuhi pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen pada 1954,
sisanya dari ubi kayu 22,36 persen, jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99
persen. Tahun 1999, konsumsi singkong tinggal 8,83 persen, jagung 3,1 persen,
dan kini nyaris hilang sebagian pangan utama warga.
Selain beralih ke beras, ada perubahan pola konsumsi ke
gandum, yang 100 persen impor. Pada tahun 2017, kita mengimpor gandum 12,5 juta
ton di 2017 (Index Mundi, 2019) atau menjadi importir gandum terbesar di dunia
(Andreas, 2019). Selain membebani ekonomi, perubahan konsumsi itu juga bisa
memicu beragam masalah kesehatan, antara lain meningkatnya prevalensi penyakit
celiac yang dipicu alergi gluten.
Indonesia juga mengimpor beragam jenis pangan, termasuk
beras. Sejak 1967-2018, Indonesia selalu impor beras dengan rata-rata 1,08 juta
ton per tahun, lima tahun terakhir. Meski berbagai upaya dilakukan untuk
menggenjot prosuksi beras, termasuk dengan cetak sawah baru, hal itu tidak bisa
mengimbangi pertumbuhan penduduk. Justru, cetak sawah baru membawa persoalan
ekologi dan budaya.
Sebagian besar daratan Indonesia berupa lahan kering dan
rawa gambut yang tidak cocok untuk padi, tetapi menumbuhkan aneka sumber pangan
lain. Sebelum dominasi padi sawah, kita kaya beragam tanaman biji-bijian lahan
kering. Bahkan, Pulau Jawa datau dilafalkan Dawa
pada masa lalu dikenal sebagai penghasil biji-bijian, seperti jawawut, sorgum,
dan jelai. Menurut Blench (2012), kata jawa
dalam bahasa Austroasiatik Aslian-Malaysia artinya sorgum, sedangkan dawa dalam bahasa Austronesia berarti jawawut.
Penggunaan kata jawa untuk biji-bijian berlaku hingga
datangnya Zea mays dari Amerika Latin di awal abad ke-19 (Denys Lombard, 2005).
Karena biji-bijinya besar, disebutkan jagung atau “jawa agung”. Sekalipun
sorgum adalah tanaman asli Afrika, keragaman jenisnya di Indonesia amat tinggi.
Amerika Serikat yang kini menjadi produsen sorgum terbesar di dunia, pada 1914
mengimpor 19 jenis sorgum dari Jawa (Bureau of Plant Industry US Departement of
Agriculture, 1917).
Selain biji-bijian, hampir semua daerah memiliki
umbi-umbian. Papua, yang ada 2018 dilanda bencana gizi buruk, merupakan pusat
umbi. Ada 224 kultivar ubi jalar ditemukan di Lembah Baliem dan Wissel, di
Anggi 60 kultivar. Indonesia juga menjadi pusat asal dan keragaman tanaman
pisang. Dari 66 jenis pisang (Musa) di dunia, ada 12 jenis di Indonesia. Ada juga
sagu yang di masa lalu tersebar di Papua, Jawa dan Aceh. Jejak tertulis tertua
keberadaan sagu di Nusantara ialah Prasasti Talang Tuo di abad ke-7. Menyambut
Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2019, bertema “Our action are our future”,
kita harus mendasarkan pemenuhan pangan berbasis keragaman sumber hayati Nusantara.
Kita barangkali tak dapat mencapai swasembada beras, tetapi kita seharusnya
bisa swasembada pangan. (Ahmad Arif)
Sumber : Kompas,
16 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar