Kopi Flores Berpotensi Dikembangkan

Kopi Flores di Nusa Tenggara Timur berpotensi untuk dikembangkan karena cita rasanya yang semakin dikenal dan permintaan pasar pun cukup tinggi.

 

Nusa Tenggara Timur masih kewalahan dalam memenuhi permintaan kopi arabika Flores yang cukup tinggi. Keterbatasan modal dan lahan membuat produksi kopi Flores belum sebanding dengan permintaan pasar. Dalam diskusi budidaya kopi Flores di Kupang, Minggu (1/9/2019), peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Pujianto, mengatakan penikmat kopi di Tanah Air sudah mengenal cita rasa khas kopi Flores, terutama dari Bajawa dan Manggarai. Bahkan, dalam sejumlah festival kopi Flores kerap menang di tingkat nasional ataupun internasional. Keunggulan itu mendorong permintaan kopi Flores yang cukup tinggi.

Secara terpisah, Kepala Biro Humas Sekretariat Daerah NTT Marinus Jelamu menyebutkan, permintaan dari dalam dan luar negeri atas kopi Flores mencapai 50.000 ton per tahun. Bahkan, pada tahun 2015, permintaannya mencapai 100.000 ton per tahun. Permintaan sejumlah itu belum bisa dipenuhi karena produksi kopi Flores masih terbatas. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah NTT Lucky Koli mengatakan, produksi kopi beras NTT sekitar 22.000 ton per tahun, terdiri dari 10.000 ton kopi jenis arabika dan 12.000 ton kopi robusta. Sementara produktivitas ceri kopi (gelondongan) hanya sekitar 500 kiligram per hektar.

Data NTT dalam Angka tahun 2017 menyebutkan, luas lahan kopi di NTT mencapai 79.420 hektar, yang tersebar di 19 dari 22 kabupaten/kota. Hanya kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao, dan Kabupaten Sabu Raijua yang tidak memiliki lahan kopi. Lahan kopi terluas ada di Manggarai Timur, sekitar 23.450 hektar, disusul Manggarai 9.701 hektar, Ngada 8.450 hektar, serta Sumba Barat Daya 8.972 hektar. Luasan lahan kopi terkecil ada di Kabupaten Malaka 51 hektar. Tercatat ada 80.000 petani kopi di NTT dengan luasan lahan kopi tiap petani sekitar 1.000 meter persegi.

Pengusaha Paskalis Wae Bai mengatakan kewalahan melayani permintaan kopi Flores yang cukup besar. “Saya kesulitan melayani permintaan kopi arabika dari sejumlah warung kopi di Surabaya, Malang, Bandung, Jakarta, dan Denpasar. Bahkan bahan baku terbatas karena produksi terus menurun akibat iklim tidak menentu, di samping ada persoalan minimnya peremajaan dan perluasan tanaman kopi petani,” katanya.  Persoalan lain, sejumlah petani kopi beralih ke komoditas vanili karena dinilai lebih menjanjikan. Harga vanili ditngkat petani berkisar Rp 300.000-Rp 500.000 per kilogram. Proses menanam vanili hingga bisa diproduksi juga relatif singkat 4-6 bulan . Sementara tanaman kopi butuh waktu sampai tujuh tahun baru bisa dipanen. Menurut Paskalis, diperlukan intensif modal untuk mendorong petani menanam dan mengembangkan komoditas kopi. Sealain itu, petani juga perlu dilatih untuk menghasilkan kopi dengan kualitas yang baik. “Lahan masih tersedia, tetapi petani mengelola lahan secara tradisional,” katanya.

 

Upaya Pemda

                Jelamu mengatakan, Pemreintah Provinsi NTT berencana memperluas lahan kopi di Kabupaten Ngada, Manggarai  dan Manggarai Timur. Selain itu, program peremajaan akan diterapkan dengan memangkas tanaman kopi yang usianya di atas 25 tahun. Soal modal Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT akan melakukan mediasi dengan Bank NTT agar mengucurkan dana kredit usaha rakyat dengan bunga lunak. Petani bisa memenuhi kewajiban di bank, mencicil pinjaman itu, dengan jaminan Dinas Pertanian dan Perkebunan,” tutur Jelamu.

 

                Sumber : Kompas, 2 September 2019

Komentar

Postingan Populer