Menyingkap Ironi Burung
Negara yang memiliki lambang mirip dengan Indonesia yang paling menonjol adalah Amerika Serikat. Negara yang dibentuk para imigran Eropa itu menggunakan elang botak (Haliaeetus leucocephalus). Pada tahun 1940 Amerika Serikat menerbitkan Bald and Golden Eagle Protection Act (Undang-Undang Perlindungan Elang Botak). Pada 1963, burung berbobot maksimal lebih dari 6 kilogram dan bentangan sayap maksimal 2,6 meter itu tinggal 417 pasang, antara lain karena penggunaan dichlorodiphenyltrichloroethane (DTT).
Di Indonesia, baru tahun 1993 terbit Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional yang memasukkan Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) sebagai satwa nasional. Elang endemik jawa itu terancam punah dan kini tinggal 300-500 ekor di habitat alami, sementara konservasi eks-situ (di luar habitat alami) belum berkembang. Jika ditarik lebih luas ke persoalan perlindungan burung dan satwa, Amerika Serikat adalah negara pertama yang “melek perlindungan satwa”. Sejarah perlindungan satwa di AS itu berusia lebih dari 200 tahun.
Mereka mendapat perlindungan pertama di bawah peraturan Lacey Act yang keluar tahun 1900 di tingkat federal. Lacey Act adalah regulasi yang pertama kali melarang perdagangan satwa hasil buruan. Perburuan di masa itu adalah permainan yang mempertandingkan ketangguhan dengan menilai hasil buruan. Pada tahun 1913 terbit peraturan McLean Migratory Bird Act – pertama kali memasukkan burung yang berimigrasi sebagai satwa dilindungi dari perdagangan dan dilarang menjadi sasaran perburuan. Mereka ada di bawah “hak asuh dan perlindungan” pemerintah federal.
Pada tahun 1800 tanpa proteksi, beberapa spesies burung punah. Mode busana di kalangan menengah atas ditandai dengan hiasan bulu : pada topi dan sebagai pemanis pakaian. Kemudian pada tahun 1916 ada kesepakatan dengan Inggris yang mengatur musim berburu. Tahun 1918, lahirlah Migratory Bird Treaty Act yang ditandatangani AS dan Kanada. Aturan tentang burung berimigrasi tersebut mengkriminalkan: perburuan, pengejaran, pengambilan, penangkapan, pembunuhan, atau menjual burung atau bagian-bagiannya, termasuk sarang, telur, dan bulu. Perjanjian ini meluas ke negara lain, seperti Meksiko, Jepang, dan Uni Soviet.
Peraturan terus berubah seiring waktu. Perusahaan pengeboran minyak dan gas yang lahir kemudian dikenai peraturan : dilarang menggangu burung. Namun, dalam pemerintahan Donald Trump peraturan berubah total : perusahaan minyak dan gas serta industri lain diberi impunitas untuk membunuh burung. Di luar perannya secara politis, burung adalah satwa istimewa. Keindahan fisik dan kicaunya ada berjuta jenis. Sementara di tengah ancaman perubahan iklim, hanya burung yang bisa ditemui dimana pun di seluruh sudut bumi. Di tempat terdingin, contoh penguin, hingga di gurun kering, panas berbatu, misalnya jenis elang di Amerika.
Burung adalah satwa yang mampu bertahan di segala jenis cuaca dan lanskap. Burung mampu terbang berimigrasi ribuan kilometer demi makanan dan bereproduksi. Burung bakal bertahan dalam bergam zaman. Sayangnya, manusia sibuk mencari kenikmatan : mengurung dan muenyuruh burung berkicau. Menikmati bulu dan dagingnya. Di perintah terbang berkilometer demi sebuah piala. Padahal, burung jugalah yang menyemai pepohonan, membantu pertumbuhan hutan. Cerita burung adalah cerita ironi. (Brigitta Isworo Laksmi)
Sumber : Kompas 4 September 2019
Komentar
Posting Komentar