Menjaga Hutan
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya. Satu dengan lainnya tak dapat dipisahkan. Menurut UN Environment Programme (Lembaga PBB tentang lingkungan), hutan meliputi sepertiga daratan dan menyokong kehidupan sekitar 1,6 miliar orang. Secara esensial, hutan ialah sumber air bagi sungai yang jadi sumber air minum, memasok hampir separuh kota besar dunia. Hutan adalah rumah oksigen dengan pepohonan di dalamnya.
Sekitar 80 persen keragaman hayati di bumi berumah di hutan. Karena itu, sumber pangan utama kita ada di hutan. Hutan juga merupakan rumah obat. Dari pohon besar hingga beragam jamur dan lumut memiliki fungsi obat. Koeksistensi masyarakat adat dan hutan bergenerasi membukakan pintu pengetahuan bagi warga adat tentang eksistensi utuh hutan. Hutan dengan kanopinya adalah tempat berteduh dan pendingin bumi. Kehidupan di dalam hutan demikian beragam dari jenis, ukuran, cara hidup, dan bentuk fisiknya – yang belum pernah berhasil dihitung dan dikenali seluruhnya.
Ukurannya amat besar dan menyebabkan hutan jadi sumber mitos, legenda, serta kultur bagi masyarakat adat di dunia. Hutan dipercaya sebagai rumah bagi Kebaikan (Tuhan, Dewa) dan Kejahatan (Setan, Iblis, dan sebagainya) seperti ditulis J Crews dalam Forest and Tree Symbolism in Folklore. Pohon juga bisa diasosiasikan dengan hal-hal suci, sakral, atau kenabian. Penebang pohon di awal peradaban di Mediterania pada mulanya untuk melihat tanda-tanda langit dari dewa secara lebih jelas. Lahirnya kerajaan dan peradaban di Eropa lalu melahirkan budaya pertanian. Pembukaan hutan mulai dilakukan untuk kebutuhan pangan.
Selanjutnya, Revolusi Industri membawa manusia pada eksploitasi sumber daya alam yang seakan tak terbendung karena pemakaian bahan bakar fosil. Hutan pun mulai dibongkar dan penggundulan hutan menjadi masif. Kemajuan teknologi dan aktivitas ekonomi lalu menyeret manusia pada krisis iklim yang kini terjadi. Hutan lantas dipandang sebagai rumah simpanan gas karbon –salah satu jenis gas rumah kaca (GRK) yang jadi rujukan bagi emisi GRK. Dari catatan UNEP, menghentikan emisi dari deforestasi dan meningkatkan simpanan karbon dengan penanaman kembali serta restorasi lanskap mengurangi emisi 30 persen. Sebagai sumber penyimpanan air, hutan juga berperan mengatur pola hujan karena uap air yang dihasilkannya
Kini, sekitar 12 juta hektar hutan dihancurkan tiap tahun. Emisi dihasilkan mencakup 25 persen emisi global. Hilangnya hutan memicu kerentanan tinggi pada dampak perubahan iklim seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan hancurnya ekosistem. Itu berarti hancurnya kehidupan di dalam hutan. Dengan beragam fungsi itu, penghancuran hutan jadi langkah awal penghancuran kehidupan kita sendiri. Manusia. Uang yang didapat dari penghancuran hutan tak mampu mengucurkan air atau menghasilkan oksigen. Kebakaran menghasilkan polusi yang merusak kesehatan. Tanpa hutan kehidupan akan berangsur mendekati kepunahan. (Brigitta Isworo Laksmi)
Sumber : Kompas, 25 September 2019
Komentar
Posting Komentar