Tiga Pasang Mata Melihat Kusta
Masih adanya stigma bahwa penyakit kusta bisa menular dengan mudah, ditambah cacat fisik yang terlihat, memicu perlakuan berbeda atau diskriminasi terhadap penderita dan mantan penderitanya.
Minah (47) menahan kedua tangannyadi deoan dada saat Kompas menghampirinya di salah satu lorong Kampung Sitanala, Kota Tangerang, Banten. Tangan dengan jari yang tidak utuh lagi itu baru menyambut jabat tangan ketika kami mengulurkan perkenalan terlebih dulu. Kejadian ini terjadi pekan ketiga Agustus 2019. Lain Minah, lain Minke. “Tanpa mengenal keluarga seram dan aneh itu pun hidupku tidak merugi, tidak kena kusta,” kata Minke dalam novel Bumi Manusia (Toer,1981). Kusta disebut untuk menggambarkan nasib buruk di masa tahun 1898 yang menjadi latar waktunya. Stigma negatif yang hidup di akhir abad ke-19.
Faktanya, di era Hindia Belandaitu, penderita kusta diasingkan dalam leproseri atau tempat penampungan khusus penderita kusta. Mengacu pada data Kementerian Kesehatan leproseri yang dimaksud antara lain berada di Wainitu di Ambon (1853), Bali Utara (1849), dan Pulau Molana di Maluku Tengah (1856). Lebih dari 100 tahun pandangan buruk atas kusta dan penderitaannya hidup di masyarakat. Bayangkan berapa juta orang hidup dengan perasaan diasingkan seperti itu, termasuk mereka yang sembuh. Kusta tak hanya menggerogoti fisik, tetapi juga mental.
Masih adanya stigma bahwa penyakit kusta bisa menular dengan mudah ditambah cacat fisik yang terlihat memicu perlakuan berbeda atau diskriminasi terhadap penderita dan mantan penderita. Kondisi itu tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan Litbang Kompas pada Agustus-September ini. Temuan menunjukkan kusta dipandang dengan kacamata yang berbeda dari penderita ataupun mantan penderita, warga di lingkungan penderita atau mantan penderita, serta masyarakat umum.
Publik memandang kusta
Dimulai dari kacamata masyarakat umum memandang kusta. Hasil jejak pendapat terhadap 521 responden di 17 kota besar menunjukkan, 46 persen responden mengaitkan kusta dengan penyakit menular atau penyakit keturunan. Sebanyak 38 persen mengasosiasikan dengan penyakit kulit yang memicu cacat, disebabkan virus, tak berbahaya, ataupun bisa disembuhkan, dan sisanya (17 persen) menjawab tidak tahu. Dengan persepsi itu di benak responden, kemungkinan ada interaksi dengan penderita kusta ditanggapi berbeda. Kondisi fisik atau bersentuhan di hindari sebagian responden saat ditanyakan begaimana akan berinteraksi dengan penderita kusta. Jika penderita kusta adalah rekan kerja, 57 persen responden mengaku tetap bekerja sama, tetapi menjaga jarak secara fisik. Demikian juga jika penderita adalah tetangganya, 47 persen responden mengaku akan tetap berkomunukasi tetapi menghindari sentuhan.
Khusus terkait pergaulan dengan anak ataupun saudaranya, responden lebih protektif. Sebanyak 61 persen responden memperbolehkan anak atau saudaranya bermain dengan mantan penderita kusta tetapi dengan syarat. Mayoritas di antaranya melarang adanya kontak fisik, sedangkan lainnya melarang makan dan minum bersama. Sikap pengucilan juga terlihat meski dalam persentase kecil, baik di lingkungan kerja (7 persen), tetangga (2,5 persen), ataupun pergaulan anak (9 persen). Harapan adanya relasi sosial tanpa diskriminasi dibangun responden yang merasa tidak terpengaruh dan mendukung penderita ataupun mantan penderita kusta sebagai rekan kerja (32 persen), tetangga (49 persen), ataupun teman main anak atau saudaranya (28 persen).
Butuh dukungan
Lalu, bagaimana penderita atau mantan penderita hidup dengan kusta? Wawancara tatap muka terhadap 100 responden yang merupakan penderita atau mantan penderita di Kampung Sitanala, Kota Tangerang memberikan gambaran jawaban atas pertanyaan tersebut. Pengalaman buruk saat berinteraksi dengan dunia luar dirasakan sebagian responden. Dari 100 responden, 32 orang merasa pernah ditolak berjabat tangan. Sebanyak 28 dari 100 orang merasa dijauhi warga yang bukan bukan penderita kusta. Penolakan juga pernah dialami saat melamar kerja karena kendala fisik yang dimilikinya (23 orang) dan bersekolah (11 orang).
Meski sebagian besar lainnya tak mengalaminya, tidak percaya diri tetap ditemukan. Malu karena mengidap kusta menjadi alasan 58 dari 100 penderita ataupun mantan penderita memilih menetap di kampung yang dibangun RS Sitanala untuk menampung mereka yang berobat ataupun sudah sembuh. Dengan berbagai pengalaman tersebut, self-stigma atau stigma diri sendiri yang membatasi kepercayaan diri terbentuk di sebagian penderita/mantan penderita. Bermukim di Kampung Sitanala menjadi zona nyaman karena komunitas yang terbentuk sudah terbiasa dan memahami kusta.
Hasil survei tatap muka terhadap 100 responden yang merupakan warga bukan penderita/mantan penderita di kampung ini mengungkap kenyataan tersebut. Rata-rata 93 persen responden relatif tidak membatasi diri saat berinteraksi dengan penderita. Berkunjung dan menjabat tangan penderita ataupun mantan penderita adalah biasa. Bahkan, makan bersama atau memakan makanan/minuman yang dibuat ataupun dijualnya bukan masalah. Kesadaran itu sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa kusta tak akan menular karena bersalaman dan duduk bersebelahan. Bahkan, hubungan seksual tak menularkan kusta, termasuk dari ibu ke janinnya.
Mayoritas responden ini tiinggal di Kampung Sitanala
karena mendampingi anggota keluarganya yang berobat kusta ataupun tinggal
bersama keluarga yang sudah sembuh dari kusta. Artinya, stigma dan diskriminasi
jauh dari keseharian responden saat berinterkasi dengan awal yang terkena
kusta. Pemahaman yang sama jika bisa dimiliki masyarakat umum akan sangat
mengurangi beban hidup penderita dan mantan penderita kusta. Karena stigma
dalam pikiran akan menuntun sikap dan tindakan yang diskriminatif bagi mereka.
Kutipan harapan yang disampaikan responden penderita ataupun mantan penderita
kusta jadi peringatan bagi kita yang kebetulan tidak terjangkit kusta. Dua di antara
suara penuh harap itu adalah “Untuk masyarakat umum yang sehat, janganlah menjauh“
dan “Ingin dianggap seperti orang pada umumnya”. Mungkin ini juga harapan Minah
seandainya kenal dengan Minke agar tidak lagi menyebut kusta dengan rasa
negatif. (Sugihandari/ Litbang Kompas)
Komentar
Posting Komentar