Pelajaran Anak Krakatau
Kajian terbaru menunjukkan, besarnya jumlah korban bencana tsunami dari Gunung Anak Krakatau disebabkan kita selama ini meremehkan ancaman tsunami dari gunung api.
Hingga sebelum bencana melanda Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018) lalu ancaman tsunami dari Gunung Anak Krakatau diremehkan karena volume gunungnya kecil. Namun, longsoran sebagian tubuh gunung ini ke laut dengan volume kecil membangkitkan tsunami yang menghancurkan pesisir Selat Sunda. Ada 437 orang meninggal akibat bencana ini. Adapun 16 orang hilang, 14.059 orang terluka, dan 33.721 mengungsi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 2.752 rumah dan 92 penginapan serta warung rusak.
Sebelumnya tsunami terjadi saat Gunung Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883 sehingga menewaskan 36.417 jiwa dan menjadi tsunami vulkanik terhebat dalam sejarah modern. Lalu Krakatau menghilang dari Selat Sunda. Pada 29 Desember 1927, di bekas kaldera Krakatau muncul gunung baru disebut Anak Krakatau. Gunung itu tumbuh cepat dan sebelum tsunami 22 Desember 2018, ketinggiannya 340 meter diatas permukaan laut (mdpl). Riwayat letusan dan cepatnya pertumbuhan Anak Krakatau membuat iluman mengkaji resikonya. Pada 2012, peneliti dari Prancis, T Gichetti, R Paris, dan K Kelfoun, bersama Budianto Ontowirjo, saat itu bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, memublikasikan kajian di Geological Society, London.
Kajian itu memperingatkan, Anak Krakatau bisa memicu tsunami akibat runtuhnya lereng (flank collapse) karena anak gunung ini tumbuh di lereng terjal kaldera. Para peneliti memodelkan ketinggian gelombang dan waktu tiba tsunami di pesisir Banten dan Lampung. Jika 0,28 kilometer kubik bagian tubuh Anak Krakatau longsor ke bara daya,terpicu tsunami. Namun, itu tak jadi dasar mitigasi tsunami di Indonesia. Sebelum 22 Desember 2018, sistem peringatan dini tsunami Indonesia didesain mengantisipasi gempa di laut. Tsunami vulkanik dari gunung api, termasuk Anak Krakatau, tak di pantau.
Dipicu longsoran
Kajian terbaru menunjukkan besarnya korban bencana Selat Sunda karena kita meremehkan ancaman tsunami dari gunung api. Tsunami gunung api dipicu longsoran. Menurut kajian Rebecca Williams dari Hull University, Inggris, dan tim di jurnal Geology edisi Agustus 2019, volume material Gunung Anak Krakatau jatuh ke laut kecil, tapi gelombang yang ditimbulkan besar. Studi mengkaji foto-foto citra satelit diambil sebelum, saat, dan setelah tsunami 22 Desember 2018 lalu.
Foto terpenting dianalisis dari satelit Sentinel milik Uni Eropa yang melewati Anak Krakatau 8 jam setelah lereng barat longsor ke laut, dan sebelum puncak gunung itu ambruk. Volume tubuh gunung yang jatuh ke laut dan memicu tsunami diperkirakan 0,1 kilometer kubik. Volume longsoran itu sepertiga dari perhitungan Gichetti dan kawan-kawan pada 2012. Tinggi tsunami dan sebarannya serupa dengan perkiraan Gichetti. Itu berarti kekuatan tsunami akibat longsoran gunung di laut lebih besar dari perhitungan normal.
Kemungkinan lain, menurut paparan Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia, Gegar Prasetya di forum American Geophysical Union di Amerika Serikat, April, jatuhnya material Anak Krakatau disertai dorongan kuat akibat letusan menyamping (lateral blast). “Ini didasarkan kesaksian nelayan sekitar Anak Krakatau saat kejadian. Kesimpulan ini berbeda dengan kajian Grilli dan Williams yang didasarka analisis citra satelit dan permodelan,” kata Gegar.
Kajian Stephan T Grilli dari University of Rhode Island, Amerika, dan tim dipublikasikan di jurnal Nature Agustus 2019 menyebut volume material longsor ke laut 0,22-0,3 kilometer kubik, mendekati perkiraan Gichetti. Karena mekanisme keruntuhan tak diketahui untuk tiap volume keruntuhan, simulasi dengan asumsi dua reologi alternatif (bahan granular dan cairan kental padat). Menurut Guru Besar Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung, Muslim Muin yang terlibat publikasi Grilli di Nature, analisis itu menujukkan kita meremehkan tsunami bersumber longsoran. “Tsunami di Teluk Palu dipicu longsor bawah laut. Jika Anak Krakatau longsor dipicu aktivitas vulkanik, di Teluk Palu longsor akibat gempa,” katanya.
Mitigasi
Sumber tsunami akibat longsor karena aktivitas vulkanik ataupun gempa harus dipetakan dan dimitigasi. Kajian Gegar menyebut, Indonesia memiliki 18 gunung api bawah laut dengan letusan bisa memicu tsunami. Selain Krakatau, letusan Tambora di Sumbawa pada 1815 dan letusan Banda Api di Maluku memicu tsunami, serta sejumlah gunung lainnya. Tsunami akibat longsoran bawah laut setelah gempa diduga terjadi saat gempa M 7,2 di Flores 1992 dan gempa M 6,8 di Pangandaran pada 2006. Tsunami hingga 80 meter yang dicatat Rumphius di Ambon dan Seram, 17 Februari 1674, amat tinggi karena longsoran bawah laut setelah gempa. Longsoran bawah laut karena gempa dan tsunami menambah energi dan mengamplifikasi kekuatan tsunami menjadi lebih dahsyat. Kombinasi gempa bumi, gunung api, dan longsor bawah laut memiliki riwayat panjang di Indonesia. (Ahmad Arif)
Sumber : Kompas, 5 September 2019
Komentar
Posting Komentar