Makananmu adalah Obatmu

 Makan tak cukup asal kenyang. Kesalahan memilih jenis makanan, cara mengolah, dan mengonsumsinya bisa menjadi sumber masalah kesehatan.


Sebagian jenis makanan bisa jenis obat dan mencegah penyakit. Jenis makanan bergizi, bermanfaat bagi kesehatan, dan mencegah penyakit disebut makanan fungsional (functional food). Kaitan makanan dan kesehatan kita lama diketahui, tetapi makanan fungsional kian populer karena perubahan perspektif masyarakat pada pangan. Hal itu dipicu meningkatnya penyakit terkait gaya hidup. “Penyakit seperti kanker, jantung, stroke, dan diabetes jadi pembunuh utama di banyak negara. Itu terkait pola dan ragam makanan tak sehat,” kata Marry K Schmidl, Presiden International Union of Food Science and Technology.

Schmidl menyampaikan hal ini saat menjadi pembicara utama di Konferensi Pangan ASEAN ke-16 di Denpasar, Bali, Rabu (16/10/2019). Konferensi yang diikuti 500 peneliti dan pelaku bisnis tekait pangan dari ASEAN dan sejumlah negara lain itu membahas tren pangan fungsional. Selain kesadaran konsumen, permintaan pangan fungsional dipicu menuanya populasi di dunia. Industri makanan fungsional pertama kali dikenalkan di Jepang pada 1980-an dan dikembangkan untuk mengurangi biaya kesehatan.

“Kini penuaan populasi terjadi di semua negara sehingga permintaan pangan fungsional meningkat. Nilai pasar pangan fungsional dan pangan sehat diperkirakan 670 milar dollar AS pada 2024,” katanya. Teruo Miyazawa, profesor ilmu pangan dari Universitas Tokohu, Jepang mengatakan, usia harapan hidup penduduk di Jepang 86,61 tahun bagi perempuan dan untuk laki-laki 80,21 tahun. Usia sehat bagi perempuan rata-rata 74,21 tahun dan laki-laki 71,9 tahun.

“Kesenjangan usia sehat dan harapan hidup itu menyebabkan besarnya biaya kesehatan,” katanya. Rata-rata sepertiga dari biaya kesehatan di Jepang demi mengatasi penyakit terkait gaya hidup. Biaya kesehatan itu bisa ditekan dengan lebih banyak berolahraga dan menyediakan makanan sehat. Atas dasar itu, sejak 1991 Pemerintah Jepang mengakui dan mengatur makanan yang memiliki fungsi kesehatan sepesifik (FOSHU/ Food for Specified Health Uses). Makanan sehat (FOSHU) bagi mereka yang ingin menjaga kesehatan, termasuk mengendalikan tekanan darah atau kolesterol. Produk FOSHU boleh dijual setelah diverifikasi Pemerintah Jepang.

Pada 2001, Jepang menerbitkan aturan makanan yang diklaim punya fungsi nutrisi tambahan (Foods with Nutrient Function Claim/FNFC) dan pada 2015 mengenai makanan fungsional (Foods with Function Claims (FFC). Beda dengan FOSHU, klaim FFC tak perlu diverifikasi pemerintah, tetapi harus didukung bukti saintifik dan melalui uji klinik. Kini, lebih dari 1.000 ragam makanan dengan label kesehatan diproduksi dan diedarkan di Jepang, dari beras hipoalergi, minuman probiotik, hingga minuman kalsium. Pada 2019, nilai pasar pangan sehat di Jepang 1.450 miliar yen dan makanan dengan klaim kesehatan 900 miliar yen.

 

Antisipasi Dampak

 Ahli Bioteknologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Eni Harmayani, menyakini,pangan fungsional bisa meningkatkan mutu kesehatan masyarakat di Indonesia. “Kita punya sejarah panjang makanan fungsional, seperti jamu tradisional dan tempe. Kita juga punya mega-biodiversitas untuk sumber pangan fungsional. Jadi, perlu memacu riset dan industri pangan fungsional,” ujarnya. Kolega Eni dari UGM yang juga Guru Besar Teknologi Pengan dan Hasil Pertanian Sri Raharjo menambahkan, meski ketinggalan dari negara tetangga, jumlah riset pangan fungsional di Indonesia naik signifikan. Berbasis data Scopus, Oktober 2019, fokus pangan fungsional di Indonesia meliputi antioksidan, diet serat, probiotik, dan prebiotik.

Minat pangan sehat di Indonesia tinggi. Namun, menurut Susana dari Gabungan pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, industri pangan fungsional di Indonesia terhambat aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Peraturan BPOM tahun 2016 menghilangkan klaim pangan fungsional. Padahal, aturan BPOM tahun 201 mengakui pangan fungsional. Menanggapi hal itu, Kepala Subdit Standardisasi Pangan Olahan Tertentu BPOM Yusra Egayanti mengatakan, regulasi terus diperbaharui. “Kami pertimbangkan revisi aturan guna mendukung pengembangan pangan fungsional, termasuk standar uji klinis,” ungkapnya.

Menurut Sri, kaitan pangan fungsional dan kesehatan warga banyak dikaji. Namun, itu perlu diatur agar tak ada klaim keliru dan mencegah dampak negatif di masyarakat. Schmidl mengingatkan, sebagian produk pangan dengan label alami atau herbal membahayakan kesehatan. “Contohnya, pemain bisbol dari Baltimore Orioles, Steve Bechler, meninggal pada 2003 karena diduga mengonsumsi suplemen Ephedra,” katanya.

Ephedra merupakan suplemen herbal untuk mengurangi berat badan dan penambah energi. Produk itu menimbulkan efek samping, dari serangan jantung hingga stroke. Dari investigasi, ditemukan 15.000 keluhan dari pengguna. Belajar dari kasus ini, sejumlah negara memperketat verifikasi klaim makanan fungsional. Basil Mathioudakis, konsultan legislasi pangan dari Uni Eropa, mengatakan baru 30 klaim pangan bernutrisi dan 267 pangan klaim pangan bagi kesehatan  diakui otoritas Uni Eropa. Adapun2.051 klaim dari industri ditolak dan 2098 klaim pangan bagi kesehatan ditangguhkan. Makanan bisa jadi obat dan mencegah penyakit. Namun, perlu pengawasan dari pemerintah agar klaim dari industri bisa dipertanggungjawabkan. (AHMAD ARIF)

 


Sumber : Kompas, 29 Oktober 2019

Komentar

Postingan Populer